Mudik menjadi fenomena yang jarang ditemui di negeri lain kecuali Indonesia. Mudik atau kembali ke udik (kampung) tidak lagi menjadi sekadar tradisi, tapi mudik juga sebagai fenomena pergerakan dan mobilitas manusia Indonesia dalam kurun waktu singkat dan dalam sebuah gelombang yang luar biasa besar.
Angka-angka berikut membuktikan bahwa MUDIK menjadi fenomena unik dan menarik dari sebuah tradisi yang awalnya hanya berkutat pada masalah kefitrahan diri menjadi sebuah budaya mobilitas massal yang sangat masif dan konsumtif. Mulanya hanyalah menjaga silaturahmi dan keberkahan di antara kerabat, sahabat maupun orang-orang terdekat, berubah menjadi gelombang kehidupan yang mampu mempengaruhi tatanan ekonomi negara. Semua karena tradisi MUDIK!
SEKITAR 10 persen dari jumlah penduduk negeri ini (250.000.000 jiwa), atau sekitar 25 juta orang, melakukan mobilisasi secara bersamaan di saat MUDIK Lebaran. Dan setiap tahunnya, jumlahnya terus mengalami lonjakan.
Sekitar Rp 24 triliun uang kiriman yang masuk dari kantong-kantong tenaga kerja di luar negeri. Sekitar Rp 200an triliun uang beredar dan ditransaksikan pada saat mobilisasi mudik tersebut. Menjelang Lebaran, lalu lintas (traffic) ucapan selamat Lebaran mencapai 1,5 miliar SMS per hari. Sebanyak 1200 kecelakaan terjadi, dengan 260 jiwa mati sia-sia...
Luar biasa kesibukan menjelang lebaran. Ada yang sibuk bikin kue, ada yang sibuk antri pesan tiket pulang kampung, ada pula yang pergi ke mall beli baju dan sepatu baru, hingga mall dan pusat perbelanjaan padat manusia sementara masjid kosong melompong nyaris tak berpenghuni. Biasanya, awal Ramadhan Masjid penuh. Kini, di sepuluh hari terakhir, shalat tarawih hanya menyisakan beberapa shaf saja, itupun kebanyakan yang sudah berumur.
Stasiun, terminal dan bandara menjadi lautan manusia. Jalan macet dan angka kecelakaan meningkat tajam. Situasi seperti itu sudah menjadi hal yang biasa menjelang lebaran. Mudik, ya....... tradisi yang sudah begitu melekat. Seolah-olah tanpa mudik lebaran tak bermakna.
Sedihnya lagi, kebanyakan diantara yang mudik lebaran atau yang sibuk dengan baju baru dan kue lebaran justru melalaikan puasanya. Naudzubilahi min dzalik...... Puasa yang sedianya 29 hari atau maksimal 30 hari itu hanya bersisa hitungan jari.
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Satu kebajikan dibalas sepuluh kali lipat. Allah SWT menurunkan rahmat, menghapus dosa dan mengabulkan do’a. Allah SWT juga membangga-banggakan orang yang berpuasa kepada para malaikat-Nya. Namun tidak sedikit orang yang tidak mendapatkan rahmat Allah SWT pada bulan ini
Sepuluh malam terakhir bulan suci Ramadhan yang didalamnya terdapat malam kemuliaan, yang lebih mulia dari seribu bulan berlalu tanpa kesan. Sedangkan kebanyakan diantara kita menyibukkan diri dengan mudik, baju baru dan kue lebaran. Uang, mungkin jutaan rupiah kita rogoh untuk bertemu sanak famili di kampung sementara malam kemuliaan berlalu begitu saja. Seakan malam kemuliaan itu tidak penting dan bukanlah sesuatu yang dinanti-nanti, sebaliknya yang menjadi penantian justru mudik, baju baru dan kue lebaran.
Akankah malam kemuliaan itu pergi tanpa kesan?. Manakah yang lebih penting mudik untuk bertemu sanak keluarga dan bermaaf-maafan yang dapat kita lakukan tidak hanya saat lebaran dibandingkan dengan malam Lailatul Qadar, malam yang lebih mulia dari seribu bulan yang umur kita saja belum tentu bisa menggapainya?
Tradisi mudik, baju baru dan kue lebaran perlu menjadi bahan perenungan kita untuk ditinjau kembali. Kalaupun kita berbuat salah kepada orang tua atau kerabat lainnya, bukankah kita bisa minta maaf saat kita berbuat salah ketimbang kita tidak mendapatkan malam kemuliaan itu. Apakah kita menganggap mudik lebih penting dari malam kemuliaan?. Semoga saja tidak.